Ketika Orang Madura Malu Berbahasa Madura

Oleh Abd. Aziz

"Sama sekali tidak ada temuan yang membuat kita optimistis bahwa bahasa Madura akan dapat bertahan. Pasalnya, bahasa ini dicitrakan sebagai lambang dari keterbelakangan dan kegagalan," demikian dinyatakan dosen Fakultas Sastra Universitas Jember Akhmad Sofyan.

Pernyataan bernada pesimis itu tertuang dalam sebuah makalah berjudul "Bahasa Madura: Antara Harapan dan Kenyataan" yang disampaikan pada Kongres I Bahasa Madura di Kabupaten Pamekasan, 15-18 Desember 2008.

Tesis pemerhati Bahasa Madura itu berdasarkan penelitian yang ia lakukan pada tahun 1992 mengenai sikap Bahasa Madura etnik Madura yang tinggal di luar Pulau Garam di Jawa Timur, termasuk sebagian warga Madura yang memang tinggal di Madura.

Yang lebih memprihatinkan, kata Akhmad Sofyan, justru sikap malu berbahasa Madura terjadi pada kelompok muda terpelajar yang harusnya memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga dan melestarikan Bahasa Madura.

Kalaupun Bahasa Madura dipergunakan sebagai alat komunikasi, itu hanya terbatas di ranah domestik, dan jika mereka berkomunikasi di ruang publik maka yang digunakan adalah Bahasa Indonesia.

Menurut Ketua Dewan Kesenian Pamekasan (DKP) Syaifuddin Miftah, kondisi semacam itu nantinya jelas mengancam keberadaan Bahasa Madura. Padahal bahasa menunjukkan identitas budaya kelompok masyarakat tempat mereka tinggal.

"Sekarang ini memang sudah banyak orang Madura yang tidak paham tentang Bahasa Madura. Padahal etnik lain, seperti Jawa, Sunda dan Betawi berlomba-lomba untuk mempertahankan bahasa daerahnya," kata "Bang Ndut" sapaan akrab Syaifuddin Miftah.

Ketua sementara DPRD Pamekasan Iskandar menyatakan, sebenarnya banyak hal yang membuat orang Madura enggan menggunakan Bahasa Madura sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Alasan itu, seperti adanya anggapan bahwa yang berbahasa Madura adalah kelompok akar rumput dan tidak berpendidikan. Sehingga para keluarga di Madura khususnya yang berpendidikan "berlomba-lomba" mengajarkan anak-anaknya berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia.

Orang yang status sosialnya naik, terutama dalam bidang pendidikan, maka cenderung akan mengajari anak-anak berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia, bukan dengan Bahasa Madura.

"Kondisi semacam ini bukan hanya terjadi di wilayah Kabupaten Pamekasan ini, namun hampir semua kabupaten yang ada di Madura," kata Iskandar.

Pola pikir yang semacam itu, sambung mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badko Jawa Timur ini, pada mulanya memang didasarkan pada fakta empirik bahwa masyarakat yang bisa berbahasa Indonesia adalah hanya kelompok terpelajar.

"Saya yakin, ketika semua masyarakat Madura ini nantinya sudah lebih maju, cara pandang seperti itu lambat laun akan hilang," katanya.

Hanya, sambung dia, memang harus ada upaya menyeluruh, baik dari masyarakat Madura itu sendiri, lembaga pendidikan yang ada di Madura ataupun pemerintah kabupaten bagaimana berupaya melestarikan Bahasa Madura tersebut secara sistematis.

"Kalau dianggap perlu, pada hari-hari tertentu para pejabat diharuskan berbahasa Madura, termasuk kegiatan serimonial yang dilakukan Pemkab," tuturnya.

Menurut Iskandar, dengan adanya kegiatan semacam itu, maka lambat laut paradigma yang tertanam di sebagian besar kalangan masyarakat Madura bahwa orang yang berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Madura merupakan orang tertinggal dan tidak berpendidikan, lambat laun akan terhapus dengan sendirinya.


Jalur pendidikan
Kongres I Bahasa Madura yang digelar di Kabupaten Pamekasan Desember 2008, akhirnya merekomendasikan supaya Bahasa Madura dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dan menjadi pelajaran muatan lokal yang wajib diajarkan kepada para siswa, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

"Mulai dari tingkat SD hingga SMA memang kami wajibkan Bahasa Madura sebagai pelajaran muatan lokal," kata Kepala Bidang Pendidikan Sekolah Menengah, Dinas Pendidikan Pamekasan, M Ramli.

Menurut Ramli, dalam sepekan, pelajaran untuk Bahasa Madura selama dua jam. Itu merupakan target minimal yang harus dilaksanakan oleh setiap sekolah.

"Lembaga pendidikan bisa menambah jika alokasi dua jam ini masih dirasa kurang, namun tidak bisa dikurangi," katanya.

Kewajiban bagi masing-masing lembaga pendidikan mengajarkan siswa-siswinya Bahasa Madura, supaya bahasa itu tetap lestari dan orang Madura mengetahui bahasa daerahnya sendiri.

Sebab, sambung Ramli, akhir-akhir ini sudah banyak orang Madura yang kurang mengerti bahasa daerahnya, meski yang bersangkutan merupakan orang Madura asli.

"Hanya yang menjadi kendala saat ini, pengajar Bahasa Madura, ini bukan ahlinya dari segi pendidikan. Dalam artian, mereka bukan lulusan Bahasa Madura," katanya.

Yang selama ini menjadi guru Bahasa Madura adalah guru-guru senior di masing-masing lembaga pendidikan dan memang mengerti tentang bahasa dan sastra Madura.

"Kalau buku-buku tentang Bahasa Madura di Pamekasan ini relatif memadai sebagai bahan pelajaran. Namun, tetap perlu ditambah sebagai pengayaan materi pelajaran," paparnya.

Tidak hanya itu, pemerintah juga memberikan kebijakan, kepada para guru bisa menjadikan Bahasa Madura sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar di lingkungan sekolah.

Seperti yang disampaikan Kepala Seksi Pembinaan SMA di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) R Eryanto kepada ANTARA di Pamekasan, saat memberikan pelatihan teknik penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).

"Yang penting materi pelajaran yang disampaikan oleh guru bisa cepat dimengerti oleh peserta didik," kata Eryanto.

Malah, sambung dia, Depdiknas sangat mendukung upaya pelestarian bahasa daerah melalui dunia pendidikan, salah satunya seperti memasukkan bahasa daerah menjadi muatan lokal.

Kata Eryanto, pemerintah memang menyarankan agar bahasa yang digunakan sebagai pengantar mata pelajaran bahasa nasional, yakni Bahasa Indonesia.

Namun, jika fakta yang terjadi saat ini bahasa daerah justru terancam punah, maka menurut dia, tidak salah jika guru menggunakan bahasa daerah.

"Hemat saya, penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan tidak akan merusak tatanan pendidikan yang ada," katanya.

Ia mencontohkan pelaksanaan pendidikan di Jepang. Di sana bahasa pengantar dunia pendidikan justru menggunakan bahasa daerah setempat. Hal itu berlaku bagi semua tingkatan pendidikan, mulai dari TK hingga perguruan tinggi.

"Termasuk untuk strata dua dan strata tiga kalau di Jepang masih menggunakan bahasa daerah setempat sebagai bahasa pengantar," katanya.

(Sumber: www.antarajatim.com)
Share this post :

Posting Komentar

Test Sidebar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Blog Iskandar - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger